Metode dan Teknik Penerjemahan
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, setiap pakar
penerjemahan mengelompokkan penerjemahan-penerjemahan di bawah ini ke dalam
jenis, metode atau teknik. Peneliti, dalam hal ini, mengadopsi pendapat Newmark
(1988) dalam pengelompokan metode penerjemahan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) istilah metode diartikan sebagai cara yang teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (2005:740).
Berkaitan dengan batasan istilah metode penerjemahan
(Translation Method), Molina dan Albir (2002:507) menyatakan bahwa ”Translation
method refers to the way of a particular translation process that is carried
out in terms of the translator’s objective, i’e., a global option that affects
the whole texts”. Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode
penerjemahan lebih cenderung pada sebuah cara yang digunakan oleh penerjemah
dalam proses penerjemahan sesuai dengan tujuannya, misalnya sebuah opsi global
penerjemah yang mempengaruhi keseluruhan teks. Jadi metode penerjemahan sangat
mempengaruhi hasil terjemahan. Artinya hasil terjemahan teks sangat ditentukan
oleh metode penerjemahan yang dianut oleh penerjemah karena maksud, tujuan dan
kehendak penerjemah akan berpengaruh terhadap hasil terjemahan teks secara
keseluruhan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Newmark dalam Ordudary
(2007:1) yang menyatakan: “[w]hile translation methods relate to whole texts,
translation procedures are used for sentences and the smaller units of
language”. Selanjutnya Newmark (1988:45) telah mengelompokkan metode-metode
penerjemahan berikut ke dalam dua kelompok besar. Empat metode pertama lebih
ditekankan pada Bsu, yaitu Word-for-word translation, Literal translation,
Faithful translation, dan Semantic translation dan empat metode kedua lebih
ditekankan pada Bsa, Adaptation, Free translation, Idiomatic translation, dan
Communicative translation.
1. Penerjemahan Kata-demi-kata
Dalam metode penerjemahan kata-demi-kata (word-for-word
translation), biasanya kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu
atau disebut dengan interlinear translation. Metode penerjemahan ini sangat
terikat pada tataran kata, sehingga susunan kata sangat dipertahankan. Dalam
melakukan tugasnya, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu dalam Bsa.
Susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan susunan kata dalam
kalimat Bsu. Setiap kata diterjemahkan satu-satu berdasarkan makna umum atau di
luar konteks, sedangkan kata-kata yang berkaitan dengan budaya diterjemahkan
secara harfiah. Umumnya metode ini digunakan pada tahapan prapenerjemahan pada
saat penerjemah menerjemahkan teks yang sukar atau untuk memahami mekanisme Bsu.
Jadi metode ini digunakan pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan.
Biasanya metode ini digunakan untuk penerjemahan tujuan khusus, namun tidak
lazim digunakan untuk penerjemahan yang umum. Kecuali jika struktur kalimat
bahasa Inggris sama dengan struktur kalimat bahasa Indonesia (lihat contoh
nomor 3 dan 4 di bawah ini) (Catford, 1978:25; Soemarno, 1983:25; Newmark,
1988:45-46; Machali, 2000:50-51; Nababan, 2003:30).
Berikut adalah beberapa contoh hasil terjemahan yang
menggunakan contoh metode penerjemahan kata-demi-kata menurut beberapa pakar
tersebut di atas:
1. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
Tsa : *Lihat, kecil anak, kamu semua harus tidak melakukan
ini.
Berdasarkan hasil terjemahan tersebut, kalimat Tsu yang
dihasilkan sangatlah rancu dan janggal karena susunan frase “kecil anak” tidak
berterima dalam tatabahasa Indonesia dan makna frase “harus tidak” itu kurang
tepat. Seharusnya kedua frase tersebut menjadi “anak kecil” dan “seharusnya
tidak”. Demikian pula dengan kata “that” yang sebaiknya diterjemahkan menjadi
“itu” bukan “ini”. Sehingga alternative terjemahan dari kalimat tersebut
menjadi:
‘Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak melakukan
itu.’
2. Tsu : I like that clever student.
Tsa : *Saya menyukai itu pintar anak.
Hasil terjemahannya tidak berterima dalam bahasa Indonesia
karena susunan kata yang benar bukan ’itu pintar anak’ tetapi ’anak pintar
itu’, sehingga kalimat yang benar seharusnya: ”Saya menyukai anak pintar itu.”
3. Tsu : I will go to New York tomorrow.
Tsa : Saya akan pergi ke New York besok.
4. Tsu : Joanne gave me two tickects yesterday.
Tsa : Joanne memberi saya dua tiket kemarin.
Hasil terjemahan kalimat ke-3 dan ke-4 tidak separah hasil
terjemahan kalimat ke-1 dan ke-2 karena struktur kalimat dari kedua teks
tersebut hampir sama. Artinya bahwa hasil terjemahan kedua kalimat tersebut
masih dalam kategori berterima walaupun masih terasa janggal. Walaupun demikian
ada beberapa alternatif hasil terjemahan yang tampak lebih alamiah dan
berterima misalnya:
3. ‘Besok pagi saya akan pergi ke New York.’
4. ‘Kemarin Joanne memberiku dua buah tiket.’
2. Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan harfiah (literal translation) atau disebut juga
penerjemahan lurus (linear translation) berada di antara penerjemahan
kata-demi-kata dan penerjemahan bebas (free translation). Dalam proses
penerjemahannya, penerjamah mencari konstruksi gramatikal Bsu yang sepadan atau
dekat dengan Bsa. Penerjemahan harfiah ini terlepas dari konteks. Penerjemahan
ini mula-mula dilakukan seperti penerjemahan kata-demi-kata, tetapi penerjemah
kemudian menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal Bsa (Soemarno,
1983:25; Newmark, 1988:46; Machali, 2000: 51; Nababan, 2003:33; Moentaha,
2006:48). Perhatikan beberapa contoh berikut:
1. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
Tsa : Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak berbuat
seperti itu.
2. Tsu : It’s raining cats and dogs.
Tsa : Hujan kucing dan anjing.
3. Tsu : His hearth is in the right place.
Tsa : Hatinya berada di tempat yang benar.
4. Tsu : The Sooner or the later the weather will change.
Tsa : Lebih cepat atau lebih lambat cuaca akan berubah.
Jika dilihat dari hasil terjemahannya, beberapa
kalimat-kalimat yang diterjemahkan secara harfiah masih terasa janggal,
misalnya kalimat ke-2 sebaiknya diterjemahkan “Hujan lebat” atau “Hujan deras”.
Kalimat ke-3 sebaiknya diterjemahkan menjadi “Hatinya tenteram”. Namun jika
demikian hasil terjemahannya, memang lebih condong pada penerjemahan bebas.
Demikian pula dengan kalimat ke-4 sebaiknya diterjemahkan menjadi “Cepat atau
lambat cuacanya akan berubah”.
3. Penerjemahan Setia
Dalam penerjemahan setia (faithful translation), penerjemah
berupaya mereproduksi makna kontekstual dari teks asli dengan tepat dalam
batasan-batasan struktur gramatikal teks sasaran. Di sini kata-kata yang
bermuatan budaya diterjemahkan, tetapi penyimpangan tata bahasa dan pilihan
kata masih tetap ada atau dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada
maksud dan tujuan Tsu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang masih terasa
kaku dan seringkali asing (Newmark, 1988:46; Machali, 2000:51). Perhatikan
contoh terjemahan berikut ini:
1. Tsu : Ben is too well aware that he is naughty.
Tsa : Ben menyadari terlalu baik bahwa ia nakal.
2. Tsu : I have quite a few friends.
Tsa : Saya mempunyai samasekali tidak banyak teman.
4. Penerjemahan Semantis
Penerjemahan semantis (semantic translation) lebih luwes
daripada penerjemahan setia. Penerjemahan setia lebih kaku dan tidak kompromi
dengan kaidah Bsa atau lebih terikat dengan Bsu, sedangkan penerjemahan
semantis lebih fleksibel dengan Bsa. Berbeda dengan penerjemahan setia,
penerjemahan semantis harus mempertimbangkan unsur estetika teks Bsu dengan
cara mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran (Newmark,
1988:46; Machali, 2000:52). Perhatikan contoh berikut:
Tsu : He is a book-worm.
Tsa : *Dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali
membaca.
Frase book-worm diterjemahkan secara fleksibel sesuai dengan
konteks budaya dan batasan fungsional yang berterima dalam Bsa. Tetapi
terjemahan di atas kurang tepat dan seharusnya diterjemahkan menjadi: ’Dia
seorang kutu buku.’
5. Adaptasi (Saduran)
Adaptasi (adaptation) oleh Newmark (1988:46) disebut dengan
metode penerjemahan yang paling bebas (the freest form of translation) dan
paling dekat dengan Bsa. Istilah ”saduran” dapat diterima di sini, asalkan
penyadurannya tidak mengorbankan tema, karakter atau alur dalam Tsu. Memang
penerjemahan adaptasi ini banyak digunakan untuk menerjemahkan puisi dan drama.
Di sini terjadi peralihan budaya Bsa ke Bsu dan teks asli ditulis kembali serta
diadaptasikan ke dalam Tsa. Jika seorang penyair menyadur atau mengadaptasi
sebuah naskah drama untuk dimainkan, maka ia harus tetap mempertahankan semua
karakter dalam naskah asli dan alur cerita juga tetap dipertahankan, namun
dialog Tsu sudah disadur dan disesuaikan dengan budaya Bsa.
Berikut adalah contoh lirik lagu dari sebuah yang disadur
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia
(http://anotherfool.wordpress.com):
Tsu : Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better
(Hey Jude-The Beatles, 196)
Tsa : Kasih, dimanakahMengapa kau tinggalkan aku
Ingatlah-ingatlah kau padaku
Janji setiamu tak kan kulupa
6. Penerjemahan Bebas
Penerjemahan bebas (free translation) merupakan penerjemahan
yang lebih mengutamakan isi dari pada bentuk teks Bsu. Biasanya metode ini
berbentuk parafrase yang lebih panjang daripada bentuk aslinya, dimaksudkan
agar isi atau pesan lebih jelas diterima oleh pengguna Bsa. Terjemahannya
bersifat bertele-tele dan panjang lebar, bahkan hasil terjemahannya tampak
seperti bukan terjemahan (Newmark, 1988:46; Machali, 2003:53). Soemarno
(2001:33-37) memberi contoh sebagai berikut:
1. Tsu : The flowers in the garden.
Tsa : Bunga-bunga yang tumbuh di kebun.
2. Tsu : How they live on what he makes?
Tsa : Bagaimana mereka dapat hidup dengan penghasilannya?
Dalam contoh nomor 1 terjadi pergeseran yang disebut dengan
shunt up (langsir ke atas), karena dari frase preposisi in the garden menjadi
klausa ’yang tumbuh di kebun’. Sedangkan pada nomor 2 terjadi pergeseran yang
disebut dengan shunt down (langsir ke bawah), karena klausa on what he makes
menjadi frase ’dengan penghasilannya’. Contoh-contoh lainnya adalah:
3. Tsu : Tatik is growing with happiness.
Tsa : Tati, hatinya berbunga-bunga.
4. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing this.
Tsa : Dengar nak, mengapa kamu semua melakukan hal-
hal seperti ini. Ini tidak baik.
Berikut adalah sebuah contoh terjemahan bebas yang tampak
sangat ekstrim yang dikemukakan oleh Moentaha (2006:52):
5. Tsu : I kissed her.
Tsa : Saya telah mencetak sebuah ciuman pada bibirnya yang
merah.
Terjemahan di atas tampak lebih radikal, sekalipun tetap
mempertahankan isi atau pesan. Padahal terjemahannya bisa saja menjadi ’Saya
telah menciumnya’.
7. Penerjemahan Idiomatik
Larson dalam Choliludin (2006:23) mengatakan bahwa
terjemahan idiomatik (idiomatic translation) menggunakan bentuk alamiah dalam
teks Bsa-nya, sesuai dengan konstruksi gramatikalnya dan pilihan leksikalnya.
Terjemahan yang benar-benar idiomatik tidak tampak seperti hasil terjemahan.
Hasil terjemahannya seolah-olah seperti hasil tulisan langsung dari penutur
asli. Maka seorang penerjemah yang baik akan mencoba menerjemahkan teks secara
idiomatik. Newmark (1988:47) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatik
mereproduksi pesan dalam teks Bsa dengan ungkapan yang lebih alamiah dan akrab
daripada teks Bsu.
Choliludin (2006:222-225) memberi beberapa contoh terjemahan
idiomatik sebagai berikut:
1. Tsu : Salina!, Excuse me, Salina!
Tsa : Salina!, Permisi, Salina!
2. Tsu : I can relate to that.
Tsa : Aku mengerti maksudnya.
3. Tsu : You’re cheery mood.
Tsa : Kamu kelihatan ceria.
4. Tsu : Tell me, I am not in a cage now.
Tsa : Ayo, berilah aku semangat bahwa aku orang bebas.
5. Tsu : Excuse me?
Tsa : Maaf, apa maksud Anda?
8. Penerjemahan Komunikatif
Menurut Newmark (1988:47), penerjemahan komunikatif
(communicative translation) berupaya untuk menerjemahkan makna kontekstual
dalam teks Bsu, baik aspek kebahasaan maupun aspek isinya, agar dapat diterima
dan dimengerti oleh pembaca. Machali (2000:55) menambahkan bahwa metode ini
memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu mimbar pembaca dan tujuan
penerjemahan. Contoh dari metode penerjemahan ini adalah penerjemahan kata
spine dalam frase thorns spines in old reef sediments. Jika kata tersebut
diterjemahkan oleh seorang ahli biologi, maka padanannya adalah spina (istilah
teknis Latin), tetapi jika diterjemahkan untuk mimbar pembaca yang lebih umum,
maka kata itu diterjemahkan menjadi ’duri’.
Di samping itu Nababan (2003:41) menjelaskan bahwa
penerjemahan komunikatif pada dasarnya menekankan pengalihan pesan. Metode ini
sangat memperhatikan pembaca atau pendengar Bsa yang tidak mengharapkan adanya
kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam teks terjemahan. Metode ini juga
sangat memperhatikan keefektifan bahasa terjemahan. Kalimat ’Awas Anjing Galak’
dapat diterjemahkan menjadi Beware of the dog! daripada Beware of the vicious
dog! Karena bagaimanapun juga kalimat terjemahan ke-1 sudah mengisyaratkan
bahwa anjing itu galak (vicious).
Berdasarkan pengamatan peneliti, setiap penerjemah memiliki
gaya masing-masing dalam menerjemahkan suatu karya. Gaya yang dia pakai akan
sangat berkaitan erat, misalnya, dengan metode penerjemahkaan yang dia gunakan
bergantung tujuan penerjemahan yang dia lakukan. Di antara para penerjemah ada
yang menggunakan metode penerjemahan setia, seperti yang telah dilakukan oleh
penerjemah novel Harry Potter and the Phylosopher’s Stone. Alasannya adalah
bahwa dia tidak mau melepaskan makna kontekstual dalam Tsu-nya. Dia berusaha
mempertahankan istilah-istilah yang berkaitan dengan sosio-budaya dan latar
dari Bsu, misalnya mempertahankan kata Mr dan Mrs serta nama-nama diri para
karakter dalam novel itu. Dia tidak melakukan suatu adaptasi atau domestikasi
tetapi mempertahankan ideology forenisasinya. Ini dilakukan demi menjaga
keaslian unsur-unsur ceritera dan nilai-nilai budaya yang melatari ceritera
tersebut sehingga pembaca diajak untuk mengenali tema, karakter, latar dan atmosfir
budaya asing. Para penerjemah novel lainnya masing-masing berbeda dalam memilih
metode penerjemahan. Di antaranya ada yang menggunakan penerjemahan bebas,
semantis, idiomatik, dan adaptasi. Hal tersebut dilakukan bergantung kepada
kebiasaan serta gaya yang menjadi ciri khas mereka. Mungkin pula bergantung
pada tujuan penerjemahan itu sendiri.
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/06/12/metode-penerjemahan-bahasa-ala-newmark/
Diposkan oleh Andika Hendra Mustaqim di 12:01 AM
terima kasih infonya sangat membantu..
BalasHapussaya ratih salam kenal :)
Thanks for make it in bahasa
BalasHapusthanks.
BalasHapussangat menambah wawasan saya
Thanks, sangat bermanfaat
BalasHapusALHAMDULILLAH ,bermanfaat
BalasHapusMohon maaf, semua tulisan ini di-copy paste dari buku saya. Penulis Buku "Ilmu Pengantar Menerjemah" Prof. Dr. Rudi Hartono, S.S.,M.Pd. Saya kira boleh mengutip, tapi tidak menjiplaka tanpa rujukan. Itu bisa masuk ke area plagiasi dan sanksinya berat. Terima kasih. Penulis buku sumber dari artikel di blog ini.
BalasHapusMohon maaf, semua tulisan ini di-copy paste dari buku saya. Penulis Buku "Ilmu Pengantar Menerjemah" Prof. Dr. Rudi Hartono, S.S.,M.Pd. Saya kira boleh mengutip, tapi tidak menjiplaka tanpa rujukan. Itu bisa masuk ke area plagiasi dan sanksinya berat. Terima kasih. Penulis buku sumber dari artikel di blog ini.
BalasHapussangat membantu,Terima kasih.
BalasHapus